Tak diragukan lagi bahwa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan organisasi mahasiswa yang sarat pengalaman. Tak salah memang sejak didirikan oleh Lapran Pane para tanggal 5 Februari 1947, HMI telah melalui berbagai lembaran sejarah. Maka tak berlebihan jika ada yang berujar ketika mengulas sejarah Indonesia, maka sejarah HMI ada didalamnya.
Demikianlah dengan usia yang sudah tua ini HMI menjelma menjadi organisasi besar dan kuat. HMI telah menelurkan kader-kader terbaiknya untuk mengisi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tak terhitung jumlahnya dan tersebar diberbagai sektor. Ada Nurkholis Madjid, Deliar Noer, Dawan Raharjo, Amien Rais, Akbar Tandjung dan sebagainya.
Namun disisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa HMI saat ini sudah begitu “renta” dan “penyakitan”, sehingga mudah goyah dan terombang-ambing oleh terpaan angin globalisasi dan modernisasi yang semakin kencang. Alih-alih menjadi obor untuk penerang umat, HMI sendiri justru kegelapan. Sehingga jangan heran jika HMI saat ini tidak lagi menjadi primadona yang dicari-cari dan diperebutkan “rebutan“, atau bahkan sudah tidak menjadi pilihan mahasiswa (baru) sebagai organisasi gerakannya. Saya memandanga HMI tidak lagi “seksi“ seperiti dulu kala. Mungkin selain masalah eksternal seperti menjamurnya organisasi-organisasi kemahasiswaan lain sehingga kompetisi dan pilihan mahasiswa lebih beragam, jika disebabkan faktor internal.
Ternyata musuh HMI adalah ada di dalam HMI sendiri dan bukan “orang lain“. Apa indikator yang paling nyata bahwa musuh HMI itu ada di dalam diri HMI? Saya memaknai dengan pudarnya daya inetelektualitas kader-kader HMI.
Tak berlebihan memang, ini sebagai sebuah menjadi outokritik bagi kader-kader HMI sebagai bahan telaahan dan dijadikan pelajaran. Kita lihat bagaimana minat para mahasiswa baru terhadap HMI, semakin kecil. bahkan wujud HMI di kampus-kampus excelent seolah menjadi barang mahal. Kenapa ini bisa terjadi? Saya memandang karena sudah pudarnya Intelektual kader-kader HMI.
Pudarnya Inetelektual Kader HMI
Ketika saya masuk bangku perkuliahan tahun 2008, saya mencari - cari sendiri di mana HMI, di forum kampus, kepengurusan UKM Internal kampus, tapi tidak ada. Saya pun mencari sendiri alamat HMI Cabang Solo lewat browsing di internet dan kemudian mendatangi langsung. Meskipun saya ikut HMI karena saran dari Orang Tua, namun saya cukup tahu mengenai HMI lewat tokoh-tokohnya yang sukses & merupakan kolega orang tua saya, mengtahui HMI melalui alumni - alumninya saja maka sayamemutuskan untuk masuk HMI dengan mengikuti Basic Training (LK-1).
Namun lambat laun ternyata kebanggan atas kader-kader HMI yang sukses itu pudar, itu hanya nostalgia masa lalu yang sering didengungkan kepada mahasiswa yang hendak masuk HMI atau menjadi bahan kebanggan yang disampaikan pemateri-pemateri di LK-1. Kader HMI sendiri seolah terbuai oleh romantisme masa lalu. Kedigdayaan senior-seniornya, kejayaan abang-abangnya, tanpa ada upaya mau menyamai atau bahkan melebihinya.
Ada kelesuan yang dirasakan memang, dari mulai pengurus besar sampai komisariat. Kader-kader HMI seolah impotent dalam menjawab tantangan jaman, dan merespons isu-isu social yang sejatinya menjadi agent social of control dan agent social of change. Ini dirasakan semakin hilangnya nuansa dan kultur intelektual yang menjadi ciri khas HMI masa lalu (katanya), jarang sekali ruang diskusi-diskusi dan adu wacana hadir dan menjadi aktifitas kader HMI. Yang ada kader HMI lebih terjebak pada nuansa politis dan hedonis.
Dalam perpekstif saya, indikator intelektual kader HMI diukur selain dari olah wacana, logika bagaimana dia berdialektika, juga bagaimana dia bisa menuangkan ide gagasannya tersebut lewat tulisan. Kenapa menulis? Karena menulis inilah yang membedakan peradaban yang beradab dengan yang tidak beradab. Menulispun adalah cerminan Intelektual sistematis merangkai ide dan gagasannya untuk disampaikan kepada orang lain. Tak banyak memang kader-kader HMI yang suka dan bisa menulis. ini memang terkait dengan kultur yang dibangun di HMI. Saya menyadari bahwa kultur yang dibangun dan dikembangkan HMI lebih bertumpu pada kultur lisan dibandingkan bukan tulisan. Maka jangan heran jika kita jarang melihat para kader-kader HMI tampil di media cetak mewacanakan dan berargumentasi sebuah isu dalam bentuk tulisan, lebih muncul sebagai pembicara, orator dan pendebat yang handal dan ulung.
Ini disebabkan dari pola pelatihan yang dijalankan HMI yang hanya sebatas menanamkan nilai olah wacana. ini saya lihat dari LK - 1 dan LK - 2 yang sudah saya alami. Tidak ada materi yang khusus mengulas motivasi menulis, atau bagaimana membuat karya tulis yang baik. Materi-materi yang ada lebih pada materi pokok, materi keislaman, materi keindonesiaan dan materi kekiniian.
Tentu ini disayangkan sekali, bagaimanapun wujud dari intelektual seseroang itu adalah karya. Sepintar dan secerdas apapun seseorang misalnya setingkat profesor, jika dia tidak mempunyai karya yang nyata misalnya sebuah tulisan atau buku, sama saja nihil. Karena lewat sebuah tulisanlah kita mengenal para pendahulu-pendahulu beserta pemikiran-pemikirannya, walaupun mereka sudah tiada ke alam baka. Saya tidak sempat bertemu dan berdiskusi dengan Cak Nur, tapi saya mengetahui pemikiran-pemikirannya. Satu alasan, karena Cak Nur semasa hidupnya menulis dan meninggalkan warisan buku.
Praktis jika kultur membaca dan menulis hidup dalam keseharian kader HMI, maka HMI akan bereikernansi menjadi organisasi dengan mempunyai kualitas kader dengan kualiatas insan cita (kualitas insan akademis, pencipta, pengabdi, bernafaskan islam, bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur diridhoi Allah SWT). Yang pada akhirnya HMI masa depan tidak akan kekuarangan kader-kader yang akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa kelak. Pun, tidak perlu gundah akan pudarnya nilai intelektualitas kader HMI.
Inilah jalan yang harus ditempuh oleh kader-kader HMI saat ini untuk meningkatkan daya inteletualitas setiap individu kader, sehingga HMI bisa kembali ke “khitahnya“ sebagai organisasi mahasiswa yang berfungsi sebagai organsasi kader dan berperan sebagai organisasi perjuangan dan mampu menelurkan kader dengan kualitas insan cita.
Semoga saja!